Bola dan orang Indonesia. Keduanya begitu dekat belakangan ini. Semenjak
sejumlah anak muda seperti Irfan Bachdim, Okto Maniani, Christian
Gonzales, Arif Suyono dan kawan-kawan, menyedot rasa nasionalisme
seantero negeri, lalu menyeretnya ke lapangan bola.
Begitu banyak tokoh politik, bisnis, bahkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang mengakui bahwa bola sudah mempersatukan bangsa. Bahkan
jauh lebih ampuh dari kata-kata politisi di atas panggung. Sepanjang
Piala AFF ini, sejumlah sengketa politik memang tenggelam, paling tidak
dari permukaan.
Mungkin karena rasa nasionalisme itu, dunia bola kita belakangan ini
jadi ramah. Hampir tak ada lagi suporter beringas, yang berarak keliling
kota dan bikin kita meriang. Bahkan, meletupkan mercon di lapangan,
kini sudah merasa bersalah, sebab itu akan membuat malu kesebelasan,
juga bangsa.
Bola yang ramah itu mengundang berpuluh ribu orang ke Senayan. Menjejali
Gelora Bung Karno. Memberi semangat kepada mereka yang berlaga. Pada
semifinal Indonesia versus Filipina, sekitar 80 ribu orang meriuh di
sana.
Seiring dengan itu, Stadion Utama Gelora Bung Karno kemudian kian
terkenal. Stadion itu berada di kawasan Senayan, yang terletak di pusat
kota Jakarta. Bagaimana riwayat stadion dan kawasan itu, belum banyak
diketahui publik.
Dari sejumlah literatur dan peta yang diterbitkan oleh Topographisch
Bureau Batavia pada tahun 1902, kawasan Senayan itu semula bernama
Wangsanajan, atau Wangsanayan menurut Ejaan Yang diperbaharui.
Konon Wangsanayan adalah pemilik tanah yang kini menjadi salah satu
tempat elit di Jakarta itu. Mungkin penyebutannya agak sulit, lambat
laun nama kawasan itu berubah jadi Senayan.
Informasi lainnya adalah bahwa kata Senayan dalam bahasa Betawi berarti
Senenan atau jenis permainan berkuda. Nama itu diperkirakan muncul sejak
masa penjajahan. Thomas Raffles (1808-1811). Saat itu, kawasan Senayan,
dijadikan sebagai tempat warga Inggris bermain Polo.
Kawasan Senayan mulai banyak dikenal sejak didirikan gelanggang olahraga
bertaraf internasional di lokasi ini. Pembangunan gelanggang olahraga
ini dimulai awal 1958 atas bantuan Uni Soviet pada masa Perdana Menteri
Nikita Kruschev. Biayanya ketika itu sebesar US$ 12,5 juta atau Rp 117,6
miliar.
Namun peletakan tiang pancang pertama dilakukan oleh Soekarno pada 8
Februari 1960 dan disaksikan langsung Wakil PM Uni Sovyet Anastas
Mikoyan.
Gelanggang olah raga ini dibangun karena Indonesia tengah mengadakan
gawai olahraga sekelas Olimpiade yang dikenal dengan nama Ganefo.
Ganefo adalah sebuah proyek mercusuar Bung Karno yang melombakan
berbagai olah raga yang pesertanya berasal dari gerakan Negara Non Blok.
Seiring dengan itu, nama stadion di kawasan Senayan dikenal sebagai
Stadion Ganefo. Di situlah Soekarno beberapa kali berpidato
membangkitkan nasionalisme rakyat.
Muncul gosip ketika itu PM Uni Soviet kecewa karena tidak ada
tanda-tanda prasasti yang menyebutkan Uni Soviet-lah yang membangunnya.
Stadion yang awalnya mampu menampung 100.000 penonton ini kini susut menjadi 88.000 penonton pasca renovasi tahun 2007.
Belakangan nama Stadion Ganefo berubah penyebutan menjadi Stadion Gelora
Senayan, seiring jatuhnya masa kepemimpinan Soekarno. Namun pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, nama Stadion Senayan diubah
menjadi Stadion Gelora Bung Karno.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar